Hijrah…

Rintik-rintik hujan kota Jakarta diiringi lantunan musik mendayu melengkapi kegalauan suasana hatiku sore itu. Banyak pertanyaan akrab yang diutarakan,pak indra, sopir taksi yang duduk disampingku sedari tadi kuacuhkan saja. Namun, si sopir tetap menunduk hormat kepada salah seorang ustad yang dia kenal baik yang mengajar disalah satu pondok pesantren ternama di selatan kota Jakarta.  “tad, kok diam saja?, ada masalah apa?”. Cuma satu pertanyaan ini yang aku dengar, dan langsung aku jawab dengan gelengan kepala. Masalah?, setiap orang punya masalah. Tak guna hidup tanpa adanya masalah. Bahkan nabi pun tak luput dari makhluk yang bernama masalah. Namun, bagaimana cara mensikapi masalah?, hal inilah yang membuat seseorang mulia di mata ALLAH atau hina.  ALLAH sang maha pemberi masalah dan sang maha penyelesainya jua.

Alimathussa’diyyah, yang jelas ini adalah nama sebenarnya, seorang wanita anggun bermata bening, berparas ayu, bersuara sendu dan juga seorang ustadzah lulusan LIPIA Jakarta, jurusan tarbiyyah islamiyyah yang kini mengajar di pondok puteri milik abahku. Baru tiga hari belakangan ini telah halal dirinya untukku.  Namun tak sedikit pun keinginan hati ini untuk menyentuhnya. Entah apa gerangan rasa suka dan cita yang mulai terpupuk lama hingga kalimat “sah!” keluar dari mulut para saksi pernikahan dan penghulu merubah bentuknya menjadi rasa kesal dan benci menggelora kalbu.

Malam itu, dengan tatapan  gelisah dan tertunduk dia ayunkan langkahnya merapat padaku, diambilnya ruang kosong tepat disebelah kanan saat aku sedang merapikan beberapa hadiah pernikahan dari sanak terdekat. Sudah aku sampaikan sejak lama kepada abah, bahwa resepsi pernikahanku nanti tak perlu yang begitu megah, kerabat dekat yang berkunjung saja itu sudah lebih dari cukup, rencanaku sejak pertama. Sudah lebih dari lima menit dia duduk tegap disampingku, namun rasa ingin mengungkapkan sesuatu yang aku tanggap dari matanya belum sampai ke bibirnya. Tetes air matanya mengalir bertambah deras saat mendengar ungkapan kalo aku sangat mencintainya dan inilah yang diinginkan abah selama ini. Kubaringkan kepalanya dipundakku, seraya kuusap air matanya yang luluh. Tak sesaat momen itu berjalan, dia langsung menarik kepalanya dan mendesak pilu melantunkan suaranya . Rasa disayat sembilu relung hatiku saat bibirnya mendekati telingaku dan membisikkan kata-kata yang kuharap adalah indah dirasa. “aku sudah tidak  perawan lagi, mas”.

“kamu yakin mau cerai?” pertanyaan abah di telpon dua hari lalu masih terus terngiang-ngiang difikiranku. Sudah dua hari ini aku tidak bertemu beliau, aku rindu nasihat dan wejangannya. Aku menetap dirumah mbakyu sulungku didaerah bekasi.

Roda KIA Rio yang dikendarai pak indra terus melaju kencang menerobos genangan air jalanan sepanjang sudirman. Rintik hujan yang mulai bosan memburamkan kaca jendela taksi menemani alunan zikir hatiku, sembari membolak-balikkan kertas memo yang berisi nomor pribadi dan alamat kantor salah seorang pengacara kenalan abang iparku. setiap orang punya kesalahan dimasa lalu, terlepas bagaimana hal itu bisa terjadi entah karena kesengajaan atau karena musibah.. Imah yang sekarang adalah imah jauh berbeda dan jauh lebih baik dari dia yang dulu.. mbak kenal banget dengan dia, fikirkan lagi niatan mu ini…. masih terngiang dibenakku tiap lembaran kata yang diucapkan mbakyu satu jam yang lalu sembari mengantarkan aku ke pagar depan rumahnya. Pak Roy Simanjuntak, setidaknya itu nama yang tertulis di atas memo ini. Abang iparku sudah meminta jadwal nya beberapa jam hari ini untuk konsultasi masalahku ini.

“tad, ustad… maaf, kita udah sampai”. Sapaan pak indra meluluh-lantahkan lamunanku. Ku ayunkan langkah panjang melewati genangan air hujan menuju gedung bertingkat dua puluh yang terletak tepat disamping shelter busway setiabudi setelah meminta pak indra untuk kembali ke tempat ini dua jam lagi.

“Dzzzz…. Dzzzz”, ponsel disaku kananku tiba-tiba bergetar tak lama setelah masuk pintu utama gedung. Ku sisihkan masa sejenak dilobi gedung untuk menjernihkan sedikit kalbu sambil membuka pesan singkat itu.

“assalamu’alaikum ustad, maaf menggangu, ini ibu rosyidah dari kelompok pengajian al-amanah”

“iya ibu, ada apa?” balasku cepat

“saya mau konsultasi sedikit, moga-moga enggak menggangu waktunya”. Balasan masuk hanya dalam hitungan menit.

“insyaAllah, enggak.. ,” tulisku tulus.

“jika seseorang masuk islam, apakah dosa-dosa dia yang lalu diampuni oleh Allah?” kubaca sms itu sembari memikirkan kata-kata yang tepat dan mudah dimengerti.

Tak terasa hampir setengah jam kuhabiskan waktu di lobby gedung, kira-kira sudah 24 balasan sms yang sudah aku layangkan ke bu rosyidah membahas masalah muallaf, hijrah, dan pengampunan dosa. Ku terangkan ayat demi ayat hingga akhirnya dia paham, dan intinya islam ibarat hijrah atau berpindah dari kondisi yang satu ke kondisi yang jauh lebih baik, dan Allah memaafkan segala dosa yang telah dia perbuat saat dia masih belum mengenal islam.

Tombol sent pesan terakhir telah aku tekan, namun sayangnya baru kusadari bahwa aku telah menemukan jawaban tentang alasan utama keberadaanku di gedung ini.

“Halo, pak roy.. ini azam, izzul azzam… mhmmm.. maaf sebelumnya, saya mau kasih tau kalo saya membatalkan perjanjian kita sore ini.. oke, oke.. terima kasih.. Selamat sore”. Itu percakapan pertama dan mudah-mudahan yang terakhir antara diriku dan beliau.

Kukuatkan kalbu dan langkah berjalan menuju pintu keluar utama gedung. Satu hal berharga yang kudapat sore ini, bahwa Allah pun maha pemaaf, setidaknya ada hikmah besar dibalik ini semua.

Image

Image Source. http://www.muslimblog.co.in/category/hijab